Rabu, 30 November 2016

The Six Sin’s [PART7]

Hasil gambar untuk women in bed sketch 


Invidia menjadi gila dibuatnya. Ia menyeret tubuh pria itu keluar kamar sedangkan istrinya hanya bisa menangis bungkam. Istrinya melihat suaminya membawa kekasihnya ke ruangan yang sebrang kamarnya, terlihat bayangan suaminya di tembok sedang memukuli kekasihnya dengan brutal, lalu bayangan itu mulai hilang. Ia mencoba melepaskan diri agar bisa menyelamatkan kekasihnya, tapi tiba-tiba terdengar suara seperti benda berat yang diseret. Ternyata Invidia kembali dengan membawa sebuah kampak yang sangat besar. Invidia mengangkat kampaknya dengan tinggi lalu dengan sekuat tenaga menghujam pria itu.


Tidak hanya memotong tubuhnya menjadi beberapa bagian, tetapi juga mengirisnya lalu menghilang. Dengan cepat ia mulai mencoba melepaskan ikatannya sebelum suaminya kembali, tapi nihil ikatannya terlalu kuat. Akhirnya ia hanya bisa menangis dan menyesalinya, badannya pun mulai lemas karena kelelahan dan akhirnya pingsan.

Belaian hangat tetiba dirasa, dari mulai kepala menuju pipi yang basah oleh air mata di usapnya. Matanya mula terbuka dan melihat suami yang tadinya terlihat bengis menjadi pria berkelas mengenakan jas dengan muka yang lembut, tapi tetap membuat istrinya ketakutan.
Istrinya merintih ketakutan dan meminta maaf, tapi tak didengarnya. Lalu Invidia mengeluarkan sebuah pisau kecil dari kantongnya, mengarahkan tepat di leher istrinya. Semakin ketakutanlah dia. Perlahan Invidia menurunkan pisaunya ke bagian dada lalu merobek baju hingga terlucuti semua. Invidia berbalik, lalu memberikan baju yang cantik pada istrinya. "Pakailah" ucap Invidia dengan lembut "Aku akan menunggumu di ruang makan".
Invidia melepas ikatan istrinya lalu pergi.

Setelah Invidia pergi, istrinya bergegas mengambil selimut di sebelahnya lalu menutupi tubuhnya, dan berusaha mencari jalan keluar untuk kabur. Tapi sayang, semua jendela dan pintu keluar sudah terkunci.
Ia mulai menangis dan kesal, mau tidak mau ia harus mengikuti perkataan Invidia. Akhirnya ia memakai baju yang diberikan oleh Invidia dengan rintihan, dengan tertatih ia berjalan menuju ruang makan. Sesampainya di ruang makan ia melihat Invidia sedang menyiapkan champagne favorite mereka. "Duduklah" kata Invidia dengan senyum yang manis, "Aku sudah menyiapkan makan malam untuk kita". Invidia mendekati istrinya yang sedang gemetaran, dengan lembut Invidia menyentuh istrinya lalu menuntunnya untuk duduk. Ia menghidangkan makanan pembuka sepiring gnocchi sage butter sauce hangat. Perlahan tapi pasti tanpa satu ucap kata pun mereka menghabiskan makanan pembuka. Setelah selesai Invidia membereskan piringnya dan istrinya lalu menghidangkan makanan utama. Potongan besar Steak lengkap dengan mashed potato dan salad. Istrinya tersentak saat suaminya menghidangkan steak didepannya. Ia mulai gelisah, rasa takut yang menghampiri dan tangis yang tidak bisa dibendung.
“Sayang, ada apa?”
“A-aku t-tidak mau makan”
Lux mencoba memegang tangan istrinya “Apa kamu tidak suka steak ini? Bukankah ini makanan favorite mu?”
Istrinya hanya menggelengkan kepala.
Invidia mulai tertawa kecil “Apakah kau mengira steak ini berasal darai tubuh si brengsek itu?”
Istrinya mengangguk kecil sambil mengusap air matanya.
“Sayangku, tidak mungkin aku menyajikan makanan busuk itu padamu”
“Lalu kau kemanakan dia? Apa yang sudah kamu lakukan?”
“Sudah kutempatkan dia ke tempat yang seharusnya!”
Istrinya hanya tertunduk diam.
Saat suasana sudah mulai tenang, mereka melanjutkan makan malam mereka.

Menit demi menit berlalu, suara binatang malam terus berseru. Keduanya tak saling pandang, bicara pun enggan.
“Apa kamu masih marah? Harus ada yang kita bicarakan” ucap Invidia mengejutkan istrinya, dan istrinya hanya menggelengkan kepala.
Istrinya mulai berfikir ini benar-benar kesalahannya dan segera meminta maaf.
Ia mulai mengangkat pandangannya lalu terheran meliat Invidia memandangnya dengan raut muka pucat dan mata merah. Istrinya mulai resah, mungkin suaminya masih marah, ia harus meminta maaf.

Saat istrinya akan membuka pembicaraan tiba-tiba suaranya hilang dan tubuhnya tidak bisa digerakan. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menggerakan tubuhnya dan mencoba untuk berteriak. Saat ia meminta tolong, ia melihat suaminya seperti berkata sesuatu tetapi ia tidak mendengar jelas apa yang dikatakannya. Ia seperti . . . sedang mengucapkan mantra.
Ada apa ini? Seketika badannya panas seperti terbakar. Lalu ia melihat bayangan di wajah suaminya, seperti ada seseorang yang datang dari belakang.
Ia mulai ketakutan, hawa dingin mulai terasa. Seperti ada sesuatu yang menyentuh kepalanya, tangan yang sangat besar, hitam dan sentuhannya terasa panas. Tangan besar itu mencengkram kepalanya lalu mematahkan lehernya dengan memutarnya kebelakang. Sempat terlihat seorang pria besar yang basah kuyup dengan senyum tipisnya memandangnya sebelum akhirnya kematian menjemput.

Leviathan, nama pria besar itu. Menghampiri Invidia dengan tawanya yang renyah. “Jarang sekali ada manusia yang memberiku bayaran nyawa dengan mengorbankan istrinya sendiri”
“Sekarang apa yang kamu mau? Uang? Tahta?” sahut Leviathan.
“Kekuatan”
“Hanya itu?”
“Ya, aku sudah banyak menghasilkan uang dengan jabatanku sekarang. Sayangnya aku sangat lemah” ucap Invidia lesu.
“Menarik sekali hahahahahahahaha”
“Cepat lakukan! Aku sudah jijik melihat tubuhmu yang terus menerus mengeluarkan air busuk itu” ucap Invidia kesal.
“Bagaimana jika ku jadikan kau tangan kanan ku, aku bisa merasakan kepedihan dan kesedihan berada di duniamu.”
Tidak ada respon sedikitpun terlihat dari Invidia.
“Ayolah kawan, ini tidak akan memberatkanmu. Kau tidak akan hanya mendapatkan kekuatan tapi juga keabadian!” sahut Leviathan.

Begitulah, Invidia pria kesedihan. Tapi jauh di dalam hatinya ia masih seorang dokter yang baik. Saat aku mengiris pergelangan tanganku ia menolongku meskipun aku sudah tidak punya harapan untuk hidup. Sialnya saat itu ia sedang berdiskusi dengan Asmodeus dan iblis payah itu tertarik padaku.
Mendengar cerita Lux, Alice mulai merubah pdangangannya mengenai The Six Sins, mungkin mereka ada karena ada suatu tujuan.
Setelah sampai dikamarnya, Lux menempatkan Alice ditempat tidur, menarikan selimut dan mengecup dahinya. “Selamat malam putri”

-Alienor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar