Sabtu, 26 November 2016

40km ke arah utara. Part 3: pulang

 
"Ted.. Ted.. Bangun ted!" terdengar suara panik Kholil yang mencoba membangunkanku. Aku harap Kholil membangunkanku hanya karena matahari sudah terbit, namun ternyata bukan. Mataku terbuka, penghilatan pertamaku adalah melihat wajah panik Kholil diantara remang nya pencahayaan di rumah ini.

Karena kaget aku langsung mengambil posisi duduk dan melayangkan pandanganku ke arah lain. Kudapati Fadil sedang duduk bersila, memejamkan matanya sambil ber-istigfar.

"kenapa?" tanyaku heran.

"a.. Anu, ada cewe! Astagfirullah.. Cewe, ted!" kata Kholil panik

Pikiranku langsung tertuju kepada Bunga. Ah! Pasti dia yang dimaksud Kholil. Dengan sikap sok tenang aku coba menenangkan Kholil dan Fadil, aku menyuruh mereka untuk tidur dan tak usah menghiraukan apabila ada 'gangguan', dengan wajah yang tak yakin akhirnya mereka kembali merebahkan diri, sedangkan aku disini masih duduk dan memastikan semua tetap aman.
30 menit berlalu, mereka sudah terlelap dan aku masih terjaga. Tiba-tiba...


"Brakk!"

Aku terkaget saat mendengar suara tersebut, seperti suara meja yang dipukul, atau lebih tepatnya suara benda berat yang jatuh ke lantai kayu.
Aku masih duduk terdiam diatas tikar ini, jantungku berdebar kencang dan pikiranku pun sudah mulai berimajinasi, di satu saat aku berpikir "wah, ini pasti hantu!" namun aku coba menenangkan diri dengan berpikir kalau itu hanya gerabah milik pak Teguh yang jatuh.

"Sett.. Srett.. Srett" terdengar seperti sesuatu yang terseret, atau diseret(?)

Jantungku kembali berdebar kencang, aku menempelkan mataku ke tangan yang aku tumpu-kan ke lutut, aku tak ingin melihat apa yang ada didepanku sekarang.
Aku tak tahu berapa lama aku menahan posisi seperti ini, namun malam ini sungguh terasa sangat lama.
Aku mencoba memberanikan diri, sembari mengucap 'Bismillah' aku mulai mengangkat kepala. Tak ada apa-apa didepanku, hanya sebuah pintu menuju dapur pak Teguh yang tak tersorot cahaya lampu petromax.

Malam kali ini terasa dingin dan lebih mencekam daripada sebelumnya. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya guna menstabilkan detak jantungku.
Aku coba me-rileks-kan diri, merebahkan badan ke belakang.
Jantungku seperti berhenti berdetak, keringat dingin mulai membasahi tubuhku.

Aku tak menyangka apa yang kulihat, itu adalah kepala wanita! Aku dapat melihat jelas rambutnya yang panjang dan mengembang, wajah pucat nya dan tatapan matanya yang melihat tajam ke arahku, ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala nya.
Aku tak dapat menggerakkan anggota tubuhku, aku terus menatap kepala itu hingga akhirnya aku tak sadarkan diri.

***

Cahaya matahari menyilaukan mataku, aku bergegas bangun dan mandi di sungai karena hari ini aku yang harus membantu pak Teguh untuk menyiapkan sarapan.
Setelah kembali dari sungai aku langsung menuju dapur untuk membantu pak Teguh.

"pak, si Bunga... " belum selesai aku berbica pak Teguh langsung memotong

"kenapa? Dia cuma mau kenalan sama kalian aja itu" jawab pak Teguh sembari mencuci daun singkong yang akan kami olah.

Aku hanya terdiam, masih terbayang jelas kejadian tadi malam itu dipikiranku maka aku cepat-cepat menyelesaikan masakan dan langsung duduk di depan pintu rumah pak Teguh. Terlihat Fadil dan Kholil yang berjalan mendekat ke arahku, nampaknya merek baru saja selesai mandi.

"anu, kamu sudah ngomong kah sama pak Teguh kalo kita ciao hari ini?" kata Fadil

"belum, ntar aja pas makan kita langsung pamit, bang." jawabku sambil beranjak masuk kedalam rumah.

Semua masakan telah tersusun rapi diatas tikar, kami bertiga duduk membentuk setengah lingkaran dan pak Teguh duduk dihadapan kami. Sembari menikmati sarapan sederhana ini kami mengobrol ngalur-ngidul hingga akhirnya pak Teguh berkata...

"kekmana? Sudah kenalan sama si bunga ya?" diikuti dengan tawa kecil beliau.

Kami bertiga langsung terdiam, "bagaimana beliau bisa tau?" pikirku dalam hati. Aku melirik wajah Kholil dan Fadil yang masih terdiam kebingungan. Tanpa merespon perkataan pak Teguh aku langsung meminta izin untuk pulang siang ini.

"loh? Kok pulang? Takut kah? Astaga" kata pak Teguh sambil tertawa.

Aku bisa saja menjawab perkataan beliau namun tentu saja itu tak sopan, jadi aku hanya menjelaskan kepada beliau kalau kami harus kembali bekerja.
Singkat cerita setelah sarapan dan berkemas kami pamit kepada pak Teguh untuk pulang sekarang. Tak lupa kami memberikan sedikit buah tangan sebagai ucapan terimakasih karena beliau mau menampung kami selama beberapa hari.
Kami beranjak meninggalkan rumah pak Teguh, memotret panorama desa yang belum terekspos ini. Senyuman dan tegur sapa warga yang kami temui sungguh menenangkan hati.

"Nak!" terdengar suara pak Teguh memanggil kami yang beranjak pergi.

"perlu diantar, nda?" teriak beliau dari depan pintu rumahnya. Merasa tau jalan pulang dan tak ingin merepotkan beliau maka kami bertiga memutuskan untuk pulang sendiri. Tanpa disadari inilah kesalahan terbesar kami.
Kami bertiga mulai melangkah mengikuti jalan setapak yang menghantar kami kembali keluar dari desa tersebut, beberapa sungai telah kami lewati. Entah berapa lama kami berjalan, namun hari semakin gelap.

"aih, keknya harus dirikan bivak lagi ini" kata Fadil

Kholil menyambung, "iya eh, daripada tersesat kita"

Kami terus berjalan dan hari semakin gelap. langit mulai berubah warna menjadi biru tua dengan sedikit untaian oranye di sela-sela awan, menandakan bahwa kami harus berhenti berjalan.
Langkah kami seketika terhenti ketika Fadil merentangkan tangannya, menghalangi dadaku dan Kholil. Fadil menganggukkan kepala nya, berisyarat bahwa kami berdua harus melihat ke depan.

***BERSAMBUNG***

-Lucille

SUMUR 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar