Rabu, 30 November 2016

The Six Sin’s [PART5]

Hasil gambar untuk bloodstone


 

Sampailah Lux di suatu kota yang cukup jauh dari kota dimana Alice berada. Ia memasuki sebuah cafe sederhana bernuansa eropa. Lux duduk di sebuah kursi dekat jendela, tak lama Lux dihampiri seorang pelayan wanita yang menawarkan menu.

Lux menatap pelayan itu dan berkata “Alea Jacta Est”. Seketika bola mata pelayan itu menjadi hitam legam lalu menujuk seorang anak laki-laki di sudut ruangan sedang menikmati croissant dengan segelas teh ditemani ibunya. Lux mulai bingung, ia ingin menemui Famine salah satu dari The Four Horsemen tetapi mengapa pelayan itu menujuk anak kecil manis itu? Lalu mata Lux terpaku pada Ibu yang menemani anak kecil itu. Ia seperti mati! Ya, seperti orang mati. Karena aku tidak bisa merasakan detak jantungnya sekalipun. Apa mungkin anak kecil itu Alter Ego dari Famine? Setelah semakin dekat, Lux melihat Ibu itu sedang mengambil dan menata banyak croissant dimejanya dan anak itu memakannya dengan sekali telan. Sesekali Ibu itu juga menyuapinya juga. Tidak salah lagi anak itu pasti Famine.

Lux duduk di depan anak itu lalu berkata “Apa kau Famine?” Anak itu terdiam dan menatap Lux dengan mata berwarna crimson yang indah. Anak itu mengambil sebuah croissant lalu memberikannya pada Lux tetapi Lux menolaknya. Anak itu terlihat sedikit marah, anak itu berkata “Apa yang kau mau?” Lux mulai menunduk lalu berkata “Aku ingin meminjam Bloodstone darimu”. Famine membersihkan mulutnya dari remah-remah roti lalu berkata “Boleh saja”.
Lux terkejut, semudah itukah meminjam Bloodstone darinya? Barang yang sangat berharga bagi The Four Horsemen? Saat Lux mulai merasa lega karena ia tak perlu bersusah payah tiba-tiba Famine berkata “Quid Pro Quo”.

Seperti halilintar di siang hari Lux seperti setengah mati mendengarnya. “Quid Pro Quo” yang berarti pertukaran setara, sudah kuduga pasti ada yang tidak beres. Lux berkata pada Famine dengan tegas “Apa yang kau mau?” Famine hanya tersenyum licik. Sebenarnya ini gampang ditebak, ia pasti menginginkan aku untuk menghasut Superbia agar berkhianat pada Lucifer dan benar saja memang itu yang ia minta. Famine ingin sekali menghancurkan Lucifer, apalagi jika anak kesayangan Lucifer yang berkhianat. Tak apalah aku akan menurutinya, mudah sekali untuk mempengaruhi Superbia mengingat aku yang paling dekat dengannya dibanding sin’s yang lain.
Famine mengeluarkan sebuah kotak dan memberikannya pada Lux. Saat Lux membuka kotak itu ia melihat Bloodstone itu berwarna merah redup, Lux kebingungan jika Bloodstonenya tidak bercahaya benda itu tidak akan berguna. Famine berkata “Jika kamu ingin Bloodstone bercahaya kau harus membunuh manusia dan meneteskan darah korbanmu pada batu itu. Ingat pastikan korbanmu itu mati!”.
“Jadi berapa banyak manusia yang harus ku bunuh?” ucap Lux.
“Sampai batu itu tidak merasa haus lagi” kata Famine dengan mulut yang penuh.
Itu berarti sekitar puluhan manusia yang harus Lux bunuh. Lux berdiri lalu menucapkan terima kasih pada Famine. Saat Lux berbalik Famin berkata ”Tempus fugit, amor manet”.

Lux menghentikan langkahnya. Famine tertawa lalu berkata “Tenang saja, tidak akan kuberitahu siapapun”.
Lux menghela nafas lalu pergi.

Untuk menghemat waktu, sepanjang perjalanan pulang Lux membunuh manusia yang berada di depannya dengan sebuah pisau kecil. Lux bergerak sangat cepat saat menebas leher korbannya lalu meneteskannya pada batu itu. Jalan raya kini menjadi sungai darah, banyak korban tergeletak dimana-mana tapi masih saja batu itu tidak memancarkan cahaya.
Lux mulai merasa lelah ia berjalan sempoyongan. Di ujung jalan, ia melihat seorang nenek tua renta yang sedang berjalan. Nenek itu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi di tempat itu karena rabun dan tuli. Lux mendekati nenek itu dengan nafsu bengisnya, memegang kepala nenek itu dan memisahkannya dengan tubuhnya. Diseretnya kepala nenek yang malang itu dengan isi perut yang menjuntai, lalu dipecahkan kepala nenek itu.
Lux mencium bau darah nenek itu dari tangannya lalu dijilatnya “Darah orang tua memang beda” ucapnya. Diteteskan darah nenek itu dan Bloodstone pun mulai bersinar. Amarah Lux pun mulai memudar, ia mulai tersenyum dan berjalan pulang menuju kastil tempat Alice berada.

Sesampainya di hutan ia merasakan sesuatu yang aneh, seperti ancaman. Lux mulai waspada, lalu ia bertemu dengan seorang pria di depannya yang sedang berjalan menggunakan hoodie dan sebuah gelang naga. Pria itu mendekati Lux dan bertanya “Permisi tuan, bolehkah saya bertanya?” Lux hanya mengangguk. “Apa anda tau dimana The Six Sin’s berada?” kata pria itu. Lux hanya diam dan memandangnya dengan dingin. “Oh ya aku Ren, dan kau?” ucap pria itu.

Namun Lux tetap diam, ia merasakan ancaman dari pria itu. Ren mulai mendekati Lux, sangat dekat! Mereka saling menatap, Lux makin waspada dan menyiapkan tangannya untuk mencengkramnya. Tiba-tiba Ren mendekati Lux, ia mencium baudi pundak dan leher Lux. Ren memandang Lux kembali, ia tersenyum dan berkata “Baumu manis” lalu Ren berjalan mundur sedikit berjaga jarak dari Lux. “Sudah berapa orang yang kau bunuh hari ini?” tanya Ren. Lux tetap terdiam dengan tangannya yang sudah siap untuk menghancurkan kepala Ren.
Lux berfikir orang yang dihadapinya bukan orang biasa, ia mulai menyiapkan pisaunya untuk berjaga-jaga.
Tiba-tiba Ren menghilang lalu muncul di belakang Lux, merasa tidak aman Lux berbalik dan mencoba mencengkram Ren, tetapi tidak berhasil. Ren bergerak begitu cepat sampai bayangannya pun tak terlihat. Lux berusaha membaca gerakan Ren tetapi sulit.

Lux mencoba menghindari serangan dari Ren. Lux pun tidak bisa melihat senjata apa yang Ren pakai. Ketika Lux lengah Ren berhasil melukai Lux. Darah mulai mengalir dari pipi Lux, amarah pun sudah tak terbendung. Tubuh Lux mengeluarkan asap panas, matanya menjadi putih, gigi taringnyapun memanjang. Ren yang melihat perubahan Lux hanya tertawa puas. Pertarungan pun tak terelakan. Lux mulai menyerang Ren yang mulai menurunkan kecepatannya. Serangan Lux pun semakin brutal, Ren hanya bertahan. Saat Lux akan menghunuskan pisaunya, Lux melihat tangan Ren yang ternyata kuku jarinyanya sangat panjang dan tajam yang siap menyerang tangannya yang memegang pisau. Melihat itu Lux menyerang Ren dengan cepat begitu juga Ren menyerang Lux dengan kukunya. Kejadian itu sangat cepat lalu pertarungan pun terhenti. Ren memegang lehernya yang mulai mengeluarkan darah, ia mengeluarkan cyanoacrylate dari kantongnya dan mulai merekatkan luka di lehernya yang mulai menganga. Sedangkan Lux hanya terdiam melihat kemejanya basah berlumuran darah yang keluar dari tangannya yang terputus.


-ALienor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar